Kamis, 09 Desember 2010

FILSAFAT ISLAM

FILSAFAT ISLAM
Ada anggapan bahwa “sejarah” filsafat Islam secara praktis berakhir bersamaan dengan kematian Ibnu Rusyd. Kata Corbin, filsafat Islam itu justru dimulai setelah kematian Ibnu Rusyd dan mencapai puncaknya pada Mulla Sadra.Setelah itu, sampai terjadinya invasi Mongol, dunia Islam hanya menghasilkan para komentator, tanpa cetusan-cetusan kreatif dan orisinil.
Namun, anggapan itu dipatahkan oleh kenyataan bahwa sampai periode Safawi, kreativitas intelektual Islam mengalami perkembangan yang begitu pesat dan mencapai kematangannya di kalangan orang-orang Syi’ah Persia. Paad batas tertentu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa jenis filsafat yang khas Islami justru baru berkembang setelah Ibnu Rusyd, bukan sebelumnya.
 Tipe filsafat Islam yang khas ini dikenal dengan sebutan hikmah(Arab) atau hikmat (Persia), yang dalam bahasa Barat diterjemahkan sebagai theo-sophia (Yunani) atau theosoph (Inggris). Hal yang perlu dicermati dari pemikiran Mulla Sadra dengan Hikmah Muta’aliyahnya adalah pandangannya tentang wujud.
Di antara tema-tema metafisika yang paling banyak melahirkan kontroversi filosofis adalah problema wujud. Sebab hakikatnya terasa sangat sulit untuk bisa dipahami. Hal ini lantaran wujud merupakan sesuatu yang tak mungkin bisa didefinisikan, mengingat untuk mendefinisikan suatu “objek”, kita butuh sesuatu yang lain yang lebih jelas dari objek itu sendiri.
Dalam konteks wujud, apakah ada objek yang lebih bisa dipahami ketimbang konsepsi wujud? Berdasarkan penghayatan spiritual yang sangat intensif dan upaya analisis intelektual yang sangat tajam, akhirnya Sadra melahirkan sebuah gagasan baru dalam filsafat bahwa wujud bukan hanya “lebih” prinsip daripada mahiyah, tapi ia juga merupakan fondasi dari semua yang disebut realitas; bahkan ia adalah realitas itu sendiri. Sejak itu wujudiyyah atau “eksistensialisme” lahir sebagai mazhab filsafat dalam komunitas Muslim. Perlu kita ingatkan di sini bahwa yang dimaksudkan dengan istilah “eksistensialisme” yang diatributkan kepada Sadra berbeda dengan mazhab eksistensialisme ala barat yang diwakili para filosof seperti Kierkegaard, Jean Paul Sartre, atau Heidegger.
Menurut Wahid Akhtar, mazhab eksistensialisme mereka tak lebih dari sekadar sebuah pendekatan untuk mempelajari manusia; bukan sebuah sistem filsafat. Ia merupakan sebuah reaksi terhadap dua aliran filsafat yang dominan di zamannya, yakni materialisme dan idealisme yang gagal memahami eksistensi manusia secara apa adanya. Sementara eksistensialisme Islam adalah sebuah mazhab filsafat metafisis yang murni. Tujuan utamanya adalah ingin mencari tahu dan bahkan ingin sampai kepada realitas wujud yang sebenarnya (the Ultimate Reality).
Dengan demikian, nuansa filsafat wujud dalam Islam lebih bersifat theistik bahkan sufistik; sementara aliran filsafat eksistensialisme barat sebagiannya condong pada nuansa atheistik. Bagi Sadra yang eksistensialis yang riil adalah wujud, sementara esensi adalah abstraksi mental semata-mata. Tapi dia juga tidak menerima teori dualitas antara wujud dan mahiyah seperti yang dipegang aliran peripatetik. Baginya wujud bukan hanya lebih prinsipiil atau sekadar fondasi bagi seluruh realitas, namun ia adalah realitas itu sendiri. Sebab sifat wujud yang paling fundamental yakni simple atau basit berkarakter “menebar” ke dalam seluruh celah-celah apa yang disebut sebagai eksisten atau maujud. Dan eksisten atau mahiyah yang ada di hadapan kita tidak lebih dari limitation atau pembatasan-pembatasan yang mempartikulasikan bentangan wujud itu sendiri. Ketika kita melihat di dunia realitas ini ada, misalnya, kursi, meja, si Amir, kuda, dan sebagainya, maka entitas-entitas itu tidak lebih dari sekadar limitation yang “membelah” bentangan wujud. Limitation itu penting untuk membentuk apa yang disebut sebagai maujud atau eksisten. Dan ia “berfungsi” untuk membedakan kepada kita karakter dan spesifikasi suatu maujud dari maujud yang lainnya. Karena dengan limitation itu, kita bisa mengenal suatu maujud dengan maujud lainnya; atau dengan limitation itu kita bisa mengenal satu form (bentuk spesifik) dari form yang lainnya. Dan form itu sendiri kemudian kita istilahkan sebagai mahiyah (what-ness) atau quiditas. Dengan demikian, apa yang kita sebut sebagai mahiyah sebenarnya tidak ada realitasnya.

Demikianlah sekelumit pemikiran “eksistensialisme” Mulla Sadra yang berusaha memberi alternatif pemikiran antara  filsafat    paripattetis dengan sufisme. 
klik tulisan ADD A COMMENT untuk berkomentar - klik tulisan ADD A COMMENT untuk berkomentar - klik tulisan ADD A COMMENT untuk berkomentar